Seratusan warga Kendal yang menjadi korban penggusuran proyek pembangunan jalan tol Semarang-Batang menginap di halaman gedung DPRD setempat, Jumat (27/4/2018).
Mereka mendirikan tenda sederhana di halaman kantor perwakilan rakyat itu. Namun, sebelum mendirikan tenda, warga yang ditemani aktivis berbagai organisasi sosial ini menggelar orasi secara bergantian.
“Kami menginap di sini karena rumah kami digusur. Sekarang tidak punya tempat tinggal lagi,” kata koordinator aksi warga, Miskam.
Menurut Miskam, warga menolak menerima uang ganti karena nilainya terlalu kecil, tidak sebanding dengan luasan lahan dan nilai bangunan rumah.
“Banyak kasus luasan lahan warga dikurangi, sehingga luasan lahan yang diganti rugi tidak sesuai dengan luasan lahan secara fisik di lapangan,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut dia, dalam pengukuran maupun penentuan harga lahan dan bangunan, warga hampir tidak pernah dilibatkan sama sekali.
“Pengukuran tidak diketahui oleh pemilik rumah, apalagi penentuan harganya. Tidak ada proses musyawarah dan mufakat di sini,” jelasnya.
Miskam menegaskan, warga sebetulnya tidak anti terhadap pembangunan, hanya saja proses penggusuran rumah warga untuk proyek jalan tol itu tidak memperhitungkan hak-hak warga, terutama dalam penentuan harga ganti rugi lahan dan bangunan yang adil.
“Warga hanya ingin ada perbaikan data terkait luas lahan yang benar dan negosiasi harga yang adil,” jelasnya.
Aksi warga korban gusuran ini mendapat dukungan dari sejumlah organisasi sosial, seperti Pengabdi Bantuan Hukum (PBH-JAKERHAM), Roemah Panjtasila, Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Pattiro Sekolah Rakyat (PSR).
Mahesa Danu
Berita ini telah diterbitkan di www.berdikarionline.com pada 28 April 2018.