Keterbukaan Informasi Berbuah Reklaiming untuk Petani Singorojo
Dusun Jomblang, Desa Singorojo ditempuh kurang lebih 3 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari pusat kota Kendal, Jawa Tengah. Secara administratif, dusun itu berada di Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal. Dusun ini sangat terpencil dan terisolasi karena dikelilingi ribuan hektar tanah yang menjadi hak perusahaan swasta dan perusahaan negara berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional.
Penghuninya kurang lebih 140 kepala keluarga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Sebagai petani penggarap, kehidupan mereka secara ekonomi dapat dikatakan susah. Ini ironi karena mereka sebenarnya hidup dikelilingi tanah subur. Lebih menyesakkan lagi karena ribuan hektar lahan subur yang saat ini ditanami cokelat, karet, pisang, dan lain-lain oleh perusahaa-nperusahaan tersebut diyakini masih milik mereka. Benar benar seperti tikus mati di lumbung padi. Masyarakat menjadi penggarap di lahan yang sebenarnya menjadi hak milik mereka.
Konon untuk keperluan memperluas lahan tanam demi memenuhi permintaan yang tinggi terhadap hasil pertanian di Eropa, pemerintah kolonial Hindia Belanda secara membabi-buta merampas tanah itu dan mengusir masyarakat dengan tidak semena-mena. Warga terusir dari tanah yang secara turun temurun telah mereka diami. Asa mereka untuk menuntut hak sempat muncul saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dan kaum penjajah terusir. Hanya saja, asa itu lalu hanya menjadi sekadar harapan kosong karena tanah garapan yang semula diduduki penguasa kolonial malah beralih menjadi perusahaan-perusahaan dengan HGU. Reformasi 1998 adalah momentum bagi rakyat banyak untuk berani menyatakan pendapat dan menuntut hak, tak terkecuali masyarakat di Singorojo. Di sana mulai terbentuk kelompok masyarakat yang mengorganisasi diri untuk menuntut hak atas lahan mereka. Mereka mulai mencari tahu dan mengurus hak ini. Sebagai masyarakat yang telah sekian lama hidup terisolasi, mereka menyadari bahwa tidak mudah mewujudkan harapan mereka. Ada banyak hambatan. Mulai dari betapa sulitnya meyakinkan seluruh warga Dusun Jomblang untuk bersatu dan berani menuntut hak hingga intimidasi preman dan aparat sewaan perusahaan.
Titik balik usaha warga Dusun Jomblang adalah saat mulai diinisiasi dan terbitnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-undang ini menjamin masyarakat untuk mendapat akses terhadap informasi. Di samping itu, undang-undang ini mewajibkan pemerintah daerah termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memberi dan membuka informasi yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat. Ketertutupan dan tidak transparannya informasi kepemilikan tanah ini menjadi sumber masalah saat masyarakat Dusun Jomblang akan menuntut hak mereka. Dengan didampingi oleh Pattiro Sekolah Rakyat Kendal, usaha masyarakat Dusun Jomblang dalam menuntut hak atas tanah mereka dilakukan secara tertib dan sistematis. Dari serangkaian Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan, akhirnya disepakati untuk membentuk sebuah paguyuban—Community Center (CC)—sebagai wadah bagi masyarakat Dusun Jomblang, Desa Singorojo, Kendal, dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka.
Paguyuban yang dinamai Paguyuban Masyarakat Petani Singorojo (PMPS) itu selain sebagai tempat bertukar informasi dan diskusi, juga sebagai alat perjuangan bagi masyarakat Dusun Jomblang. Tujuan PMPS adalah memperjuangkan kepemilikan atas tanah mereka yang dikuasai sejumlah perusahaan dalam bentuk HGU. PMPS dilengkapi struktur organisasi sebagai perangkat untuk bekerja. Dalam PMPS duduk seluruh komponen masyarakat yang ada di Dusun Jomblang. Ini penting untuk menjadikan PMPS sebagai satu-satunya organisasi masyarakat Dusun Jomblang dan diterima semua pihak. Keterlibatan seluruh komponen di Dusun Jomblang ini menjadi kunci keberhasilan PMPS dalam menuntut hak atas tanah mereka di kemudian hari. Pengurus dan anggota CC PMPS Paguyuban Masyarakat Petani Singorojo melakukan pertemuan rutin seminggu sekali. Umumnya pertemuan tersebut dikemas dengan doa bersama (mujahadah) dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sekaligus sebagai strategi untuk menghindari gesekan antar anggota serta gesekan sesama pengurus dan warga. Dalam pengajian tersebut, berbagai informasi didiskusikan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam organisasi.
Sumber: www.law-democracy.org Juli 2010